Jumat, 10 Desember 2010

Ekonomi Psikopat


Yasraf Amir Piliang Dosen Program Magister Desain dan Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung Yasraf Amir Piliang Dosen Program Magister Desain dan Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung

Beberapa tahun terakhir kita mencium aroma kegilaan dan abnormalitas di ranah ekonomi. Bakso mengandung boraks. Tahu, mi, ikan, ayam, dan daging mengandung formalin. Sayur dan buah mengandung pestisida. Susu, permen, dan biskuit mengandung melamin. Kosmetik, jamu, dan obat mengandung merkuri. Perdagangan bayi, manusia, organ tubuh, dan perempuan berjalan terus. Penjualan tabung gas yang disuntikkan, jual beli gelar dan ijazah, serta jual beli kursi, jabatan, dan kekuasaan tak pernah berhenti.

Ranah ekonomi bukan lagi sekadar medan produksi, distribusi, dan pertukaran barang atau jasa demi keuntungan, melainkan medan tempat aneka kegilaan, deviasi, dan abnormalitas tumbuh subur. Motif keuntungan telah melahap akal sehat, melabrak norma sosial, dan melumat arsitektur etis. Dahaga keuntungan mengabaikan luka, derita, ketakutan, dan teror kepada manusia. Hasrat kapital menepis keutamaan, kebaikan, dan kemuliaan humanitas. Mesin produksi dan distribusi menjelma layaknya ”mesin gila”.

Produk-produk mengandung boraks, formalin, melamin, merkuri, dan pestisida telah menimbulkan aneka penyakit: kanker, tumor, hepatitis, atau ginjal. Penggunaan tabung gas telah mengundang banyak cacat fisik dan kematian. Perdagangan bayi, manusia, dan organ tubuh manusia telah menimbulkan kehilangan, kepedihan, dan lautan air mata. Jual beli gelar dan ijazah telah menghancurkan martabat pendidikan. Jual beli jabatan, kursi, dan kekuasaan telah menghancurkan fondasi etika politik.

Ranah ekonomi menjadi ladang ”terorisme” baru tempat para pelaku pasar menebar kecemasan, ketakutan, dan horor di pasar, rumah, dapur, restoran, dan ruang publik lainnya. Ironisnya, ketakutan bahkan kematian ditebar justru demi keuntungan dan kepuasan. Karena itu, lebih dari sekadar ”teroris”, para pelaku pasar ini berkelainan psikososial. Mereka para psikopat pasar: gagal menginternalkan nilai dan etika pasar demi kepuasan diri di atas penderitaan pihak lain.

Pasar psikopat

JF Lyotard dalam Libidinal Economy (1993) melukiskan sebuah ranah ekonomi yang di dalamnya pelepasan katup hasrat dan energi libido merupakan raison d’etre para pelaku pasar. Segala bentuk senang dan puas merupakan tujuan akhir ekonomi sehingga segala bentuk potensi dan kapasitas hasrat harus dimaksimalkan; segala modal kesenangan harus diinvestasikan. Komoditas pelepas hasrat harus selalu diperbarui demi terbaruinya kepuasan hasrat.

Namun, ada bentuk pelepasan hasrat dalam ekonomi yang hanya bisa diperoleh justru melalui penderitaan, ketakutan, bahkan kematian orang lain. Inilah ekonomi masokis. Di sini internalisasi kepuasan hasrat dalam ekonomi hanya dapat diperoleh melalui eksternalisasi aneka hasrat merusak. Ranah ekonomi yang tercabut dari fondasi etis menggiring orang merayakan akumulasi kapital dengan melabrak dimensi etis tentang kebaikan, hati nurani, dan keutamaan.

Dimensi kegilaan merasuki ranah ekonomi, baik pada sistem produksi, distribusi, maupun pertukaran. Ranah ekonomi, meminjam istilah Felix Guattari dalam Molecular Revolution: Psychiatry and Politics (1984), menumbuhkan kegilaan yang sangat khusus. Kegilaan tak hanya dilihat sebagai kegagalan fungsi otak—yang memicu pikiran kacau—tetapi juga hilang pikiran sehat, mabuk, dan skizofrenia yang aneka dimensinya melekat dalam arsitektur ekonomi.

Ekonomi psikopat adalah satu bentuk kegilaan itu. Seperti para penyandang psikopat, para psikopat pasar adalah aktor yang beroperasi di bawah tanah, tempat tersembunyi, rumah kosong, rumah kontrakan, ruang anomali internet, dan Facebook, tempat ia merealisasikan fantasi menyimpang diiringi kekerasan, bahkan kematian orang lain. Ia gagal menginternalkan norma dan nilai sosial, dan bertindak sesuai dengan kendali hasrat dan fantasinya, jika perlu dengan memakan korban.

Ekonomi psikopat adalah aktivitas ekonomi yang beroperasi di dalam ketakterlihatan dan ketaksadaran. Aneka kekerasan, penculikan, dan pembunuhan tumbuh dari ketakawasan dan kelengahan orang, ketakpedulian, kelalaian, dan kemalasan aparat. Banyak wanita jadi korban perdagangan wanita karena tak awas akan mekanisme seduksi dan bujuk rayu dalam Facebook atau Twitter. Banyak orang jadi korban makanan mengandung zat kimia karena aparat lalai mengawasi.

Ekonomi psikopat adalah sebuah kontradiksi diri: ia merajut kepuasan dalam kekerasan. Menurut Jean Baudrillard dalam Symbolic Exchange and Death (1995), tujuan ekonomi menciptakan kesejahteraan lewat akumulasi kapital dan untung. Namun, momen akumulasi kapital adalah juga momen derita, takut, dan mati. Proses akumulasi modal dan keuntungan sekaligus juga proses kekerasan, kerusakan, dan dehumanisasi.

Terorisme ekonomi

Ekonomi psikopat adalah ranah terorisme bisu karena efeknya tak terlihat dan tak disadari. Berbeda dengan efek kerusakan terorisme, efek terorisme ekonomi tak kasatmata: dalam jaringan sel, susunan saraf, organ tubuh, atau struktur psikis. Kekerasan ekonomi psikopat bukan saja kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan simbolik: makanan berformalin merusak fisik hingga kematian, ijazah palsu merusak landasan simbolik pendidikan, jual beli kursi merusak landasan etika politik.

Ekonomi psikopat adalah sebuah horonomik, yaitu medan akumulasi kapital melalui mekanisme kekerasan. Kekerasan macam ini, seperti kata Slavoj Zizek dalam Violence (2008), dapat berupa kekerasan fisik, psikis, dan struktur. Kekerasan fisik menyebabkan cacat fisik, kerusakan tubuh, bahkan kematian. Kekerasan subyek menyebabkan aneka ketakutan, kecemasan, dan paranoia. Kekerasan sistem menyebabkan kerusakan pada keutuhan aneka sistem (pendidikan, hukum, politik) akibat abnormalitas di ranah ekonomi.

Ekonomi psikopat tumbuh sebagai subkultur ekonomi: kultur di dalam kultur ekonomi. Sebagai subkultur, ia menyubversi ranah ekonomi dari dalam dengan membangun jaringan di dalam jaringan. Ia memanipulasi setiap jaringan normal ekonomi: jaringan pasar, jaringan distribusi, dan jaringan internet melalui aneka penyamaran, penipuan, hipnotis, pemalsuan, dan simulasi, seakan-akan mereka adalah para pelaku ekonomi yang normal.

Ketika otoritas ekonomi membiarkan kegilaan dan abnormalitas tumbuh di dalam mekanisme pasar, ekonomi psikopat menjadi ancaman serius bagi masa depan manusia dan kemanusiaan. Anak bangsa terancam makanan beracun, culik, tipu, dagang manusia, dan ijazah palsu. Apabila aparat negara sukses membekuk pelaku teror, meski belum berhasil menumpas jaringan terorisme, mereka tampak kurang total menumpas terorisme ekonomi sehingga jaringannya terus tumbuh.

Ketika ranah ekonomi tak lagi dibangun di atas fondasi etis, kebaikan, keutamaan, solidaritas, keadilan, dan tanggung jawab tak lagi menjadi bahasa ekonomi. Ketika negara tak mampu mengerahkan kekuatan dan otoritasnya, di sinilah para psikopat pasar leluasa menggelar tindak amoralitasnya. Tanpa upaya sinergis dan berkelanjutan mengatasinya, jaringan ekonomi psikopat kian meluas dengan korban kian banyak. Pasar sebagai sumber kesenangan dan kepuasan terancam jadi sebuah medan horor dan dehumanisasi.

http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=12199&coid=2&caid=30


Tidak ada komentar:

Posting Komentar