Minggu, 01 Mei 2011

Watak Never Die ( Bag. 4 )

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam lewat dua puluh menit. Malam kamis setelah acara Mata Najwa diMetro baru saja selesai. Dikamar sudut dekat kulkas panasonic lampu masih terang. Diskusi sedang berlangsung oleh dua manusia, seperti Najwa Shihab membrondong pertanyaan lawan bicaranya.


Saya belum mengerti apa yang kakak maksud?" Mimik mukanya berubah. Suaranya sedikit diturunkan. sambil menatap tajam kearah wahyu.


" Dulu saya berharap bisa menikmati dunia kemahasiswaan saya," sejenak berhenti, sambil mengusap rambutnya, " saya menunggu sampai akhirnya saya selesai dari kampus itu, ternyata waktu tidak berpihak."


" Seberapa besar harapan itu?"


" Mereka selalu melantungkan nyanyian dengan membahana. Begitu dalam makna perjuangan mereka hingga yang mendengarnya hanyut dan seakan tertarik mengikuti iramanya, dan kau tak akan mengerti sekarang."


Malam semakin larut. Hening. Langit - langit kamar menatap dengan samar. Seolah menikmati percakapan dua manusia yang belum ketemu dalam titik sepahaman. Lampu neon 20 watt masih terang merekam setiap gerak yang tak menentu, Pancarannya mendekat untuk memastikan tak ada kata yang terlewatkan.


" Tidak ada maksud dari diskusi kita, sekedar bekal yang akan kau bawa kalau mencicipi dunia barumu nanti." wahyu melanjutkan bicaranya.


" Hahahahha, kiamat kali??"Rury tertawa. " Kak, kita seolah mendiskusikan suatu masa yang telah lewat, masa kelam yang tersurat dalam catatan kusam sejarah, dan bukan untuk diriku."


" Saya selalu percaya siklus kehidupan ry," Wahyu bangun dari tempat tidur. Disudut kamar berdiri meja kecil dengan tumpukan baju menindihnya. Sebotol minyak angin ukuran 20 ml yang dibeli minggu lalu sudah pertengahan isinya. Diambilnya kemudian melangkah kembali ketempat tidur.


" Percaya atau tidak selalu ada pengaruh yang menetes kekehidupan sekarang atas tindak tanduk para pendahulu. Namun jangan kau pertanyakan kondisi hari ini." Wahyu duduk diranjang besi. Bajunya telah naik setengah. Diusap melingkar perutnya dengan minyak angin. aktifitas yang menyita waktu diskusi mereka.


Rury mencoba memahami arah pembicaraan Wahyu. Kakak sepupunya yang sudah lima tahun menyelesaikan studynya. Dia sering mempertanyakan apa saja yang bisa mendekatkan hubungan mereka. Anak tunggal dari kakak ayahnya.


" Serasa ganjil pembicaraan ini, bagaimana mitos yang dulu begitu dipercayai oleh mahasiswa?"


" Ini bukan Mitos ry!!" Wahyu menatap rury, tatapannya dalam. Suaranya meledak.


" Yah terserahlah kak," Rury memperbaiki bantal yang disandarinya. lambang real madrid memenuhi sarung bantal, klub sepak bola yang dijagokannya sejak kepindahan the special one mengarsiteki klub yang baru menjuarai piala raja itu. " Bagaimana ceritanya?"


" Cerita ini sudah lama kami simpan. Tepat jam lima sore, suasana panas menyelimuti kampus, mahasiswa baru keluar dari ruangan dan tanpa sengaja saya melihat pakaian mahasiswa didominasi dengan warna merah. entah laki - laki atau perempuan, dan itu berulang ry!" wahyu berhenti diatur nafasnya sejenak." Tahun berikutnya pun demikian sampai semua orang tahu kalau itu adalah hari penghormatan."


" Hari penghormatan?"


" Hari penghormatan untuk para pendahulu, namun anehnya kami mengerti itu tanpa cerita dari senior. Hanya kami mengerti dengan mengamati dan kami simpan dalam hati kami masing masing." Wahyu menatap langit langit kamar. tatapannya jauh seolah mencari sisa pengalaman yang belum sempat dia ceritakan.


" Terus??" Rury kembali memancing/


" Seakan ada yang memerintahkan kami sebelumnya untuk menyeragamkan pakaian kami, panas yang menyelimuti namun perasaan hati kami begitu tenang, hingga kami selalu merindukan suasana itu." Wahyu kembali melanjutkan. pancingan rury berhasil.


" Itu hanya kebetulan kak, bukankah ketika pikiran kita arahkan kesana maka kondisi itu akan terjadi, apalagi kalau itu yang diinginkan oleh hampir semua mahasiswa." Rury menanggapi serius.


" Kamu masih percaya dengan kebetulan?" Wahyu kembali menatap rury. " Iya kami menginginkan, kehadirannya hanya sekilas tapi ketenangan yang dibawanya tak hilang, berbekas sampai kini tapi itu tak kami dapatkan ditempat lain, hanya disana!"


" Hanya disana??"


" Hanya disana dikampus kuning itu, tepat jam lima sore." wahyu meyakinkan rury. pandangannya dia alihkan kedinding. Foto ukuran 10R terpampang dengan kerel besar dipundaknya. ditatapnya kemudian air matanya menetes begitu saja.



Waktu terus bergerak. Nasib belum mampu dia rubah. Mengingatkan manusia dengan seluruh alam adalah tugasnya. Terlalu banyak cerita yang dicetak bersamanya. Tidak perduli dengan nasib rury yang terheran - heran dengan cerita kakak sepupunya satu tahun lalu. Diingatnya kembali cerita itu saat dia berlibur dirumah wahyu. Dia tedampar diKampus STIEM Bongaya setelah tidak lulus dari UNM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar