Selasa, 22 Februari 2011

MULTI RASIONAL CORPORATE 121


Manusia selalu bereaksi atas sebuah informasi yang datang walau tanpa dikaji. Kini situasi telah berbeda, bukan fiksi tapi simulasi. Akan tetapi lebih digandrungi, dipuja dan dicintai. Rahasia pribadi dihisap masuk dalam televisi. Semua telah menjadi komoditi. Prestasi diramu dalam Durasi, Aksi direkonstruksi dalam narasi, Industri ada dipuncak tertinggi. Semua hal jadi potensi, segala hal diambil alih untuk diproduksi, Inilah dunia yang kita diami.

Abdi negara tidak mau disaingi. Sibuk mencari referensi, bagaimana membangun relasi, agar masuk dalam ketegori, layak diorbit menjadi informasi. Mereka telah berubah fungsi, melupakan semua janji yang dulu dihambur tanpa kendali. Siapa yang peduli rakyat yang hidup dipinggir kali.

Dulu kasus century tapi sekarang susu berbakteri, atau Gayus yang dicurigai main mata dengan Group Bakrie, atau mungkin juga Susno Duadji yang belum sempat dibui. Inilah yangh disaji, diolah sedemikian rupa agar tidak basi, dari hari kehari tanpa henti, aparat institusi patut dicurigai.

Ketika semua telah dimonopoli, maka Antonio Gramsci mendapat posisi. Bahwa kelas berkuasa selalu mendominasi, disamping lewat kekuatan amunisi juga lewat pembentukan opini. Ekspresi hasrat itu disebut Hegemoni.

Masih tersimpan dalam memori, atau mungkin sudah tertanam dalam hati, rasa benci yang menetap dalam sanubari melihat kekayaan alam yang terus digadai, dari dulu hingga kini oleh para politisi, mungkin juga akademisi yang selalu menjaga reputasi demi seonggok eksistensi.

BERDIKARI. Pesan founding father yang telah mendahului, pergi meninggalkan generasi yang hanya sibuk beronani, menghabsikan waktu berdiskusi, besok tertidur tanpa ada aksi. Berdiam diripun bukan solusi. Para pemberani telah memberi bukti. dari Nabi hingga para Wali. Ada ayat suci atau sejuta piliha teori. Mau yang asli atau yang sudah dimanipulasi, terinventarisasi menjadi sebuah Histor. Revolusi bisa sekedar ilusi, tapi evolusi itu hal yang pasti.

Mungkin kita sepakat angkat kaki, mengikuti jejak para TKI. tidak peduli siksaan atau caci maki, asal kampung tengah dapat terisi. Dari pada hidup jadi anak tiri dalam dekapan bunda pertiwi. Memang ini sangat ironi, tapi bukan teka teki, jawabannya "mungkin ini sebuah misteri". Ketika bayang ketakutan menghantui, siang malam hidup jadi kuli, memeras keringat dibawah terik matahari, mengemis untuk sesuap nasi, sementara saudara yang lain makan roti. Ya, mereka yang katanya representasi, mewakili buruh, nelayan dan juga para petani. Dulu membangun empati dengan menjual mimpi, semua didata dan dimasuki, dari tempat ibadah hingga tempat perostitusi. Dan kini tidak ada yang terealisasi. Sekali lagi hanyalah ambisi untuk berebut kursi.

Inovasi politik yang ditandai dengan amandemen konstitusi, adalah konsekwensi dari reformasi. Masyarakat digiring satu persatu untuk jadi pemilih tidak peduli yag pakai dasi atau penjual sapi, penyanyi tau penari bahkan setingkat menteri atau sekelas bupati.HAHAHAHA sama rasa tanpa pamrih, yang pasti mampu mendongkrak urutan partai.

OK. Semua telah terkendali, besok pagi semua berbondong bondong untuk antri, tak perlu adalagi koordinasi apalagi basa basi, salah contreng anda dimutasi.
Tidak perlu diurai secara rinci, transisi telah dilewati.
Tepuk tangan mengiringi pujaan hangat disela konferensi.
KITA adalah NEGARA DEMOKRASI...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar